My Coldest CEO

99| Lizard Azzie Luis



99| Lizard Azzie Luis

05 tahun kemudian...     
0

Seorang anak laki-laki dengan gagahnya memegang sebuah bola tendang, menatap gawang dengan kedua bola matanya yang berkilat sangat serius seolah-olah tidak ingin kekalahan merenggut kemenangannya.     

"Daddy, apa kamu tidak terlalu menutupi gawang? ayolah, tentu saja kita tidak seimbang."     

Walaupun baru berumur 5 tahun, tapi ia sudah sangat pandai berbicara. Bahkan ia sudah pintar berhitung dan membaca, hanya tinggal menunggu perkembangannya sampai beranjak dewasa baru bisa menjadi laki-laki hebat seperti sang Daddy.     

Namanya Lizard Azzie Luis, cukup panggil Ard saja karena selain terdengar keren tentu saja terdengar lebih mudah di ucapkan jika dibandingkan dengan namanya yang lain. Anak pertama dari seorang Leonardo Luis dan juga Felia Azruela Wallson, perpaduan yang benar-benar menghadirkan sesosok anak laki-laki yang tak kenal takut.     

"Kamu pasti bisa! Daddy kan tidak ada bandingannya dengan kamu, sayang." ucap Leo yang berjarak satu meter di depan Ard, ia tengah berlagak menjadi seorang keeper yang menjaga gawang supaya tidak bisa di bobol oleh sang anak.     

Ard memutar kedua bola mata, lihat ternyata sang Daddy tidak ingin mengalah. Bagaimana ia bisa membobol gawang kalau tubuh kekar Leo hampir menutupi gawang kecilnya? memang menyebalkan.     

"MOMMY, DADDY SANGAT MENYEBALKAN! LEBIH BAIK AKU TIDAK JADI BERMAIN SAJA DEH!" pekiknya dengan nada khas seorang anak kecil yang kesal, lalu membuang asal bola yang berada di tangannya.     

Berlari kecil ke arah seorang wanita yang sudah dapat di pastikan itu adalah Felia, ia segera berdiri di sampingnya dengan wajah sebal dan jangan lupa tangannya yang mulai menunjuk ke arah Leo.     

"Tuh Daddy marahi saja!"     

Tak ada hentinya mereka bertengkar kecil, padahal sama-sama laki-laki namun sepertinya Leo yang selalu tidak ingin mengalah --ah bukan ia terlalu menaruh percaya diri yang tinggi, hanya untuk membuat sang buah hatinya merasa kalau dirinya bisa--.     

Felia yang tadinya sedang membaca majalah tentang keluarga kecil Klarisa yang di ekspos pada salah satu majalah, akhirnya menghentikan kegiatan untuk memberikan perhatian penuh pada putranya. "Kenapa tidak kamu tendang saja pakai bola? anak laki-laki itu harus pandai melawan ketidakbenaran dong," ucapnya sambil menjulurkan tangan untuk mengelus puncak kepala Ard.     

Niatnya memang menghabiskan akhir pekan bersama, sesuai pagi ini. Dengan Ard dan Leo yang bermain bola, dan tentu saja Felia bersantai di tepi kolam renang dengan tiduran di atas kursi santai dari kayu sekalian berjemur. Tapi lagi-lagi kedua laki-laki yang berbeda usia itu bertengkar kecil.     

Ard menatap Leo yang tengah berjalan ke arahnya dengan bola yang sudah masuk di dalam genggaman tangannya. "Tuh Daddy berjalan ke sini, sebaiknya Mommy saja yang membalaskan dendam! tendang saja pakai bola," serunya yang masih saja terlihat kesal.     

Felia terkekeh kecil, lalu mengubah posisi berbaring menjadi duduk dan menatap Leo yang sudah berdiri tepat di hadapannya. "Kenapa lagi, sayang? masa iya tiap bermain kamu harus bertengkar dengan Ard, kan harusnya seru-seruan..." Menegur dengan deretan kalimat yang terdengar lembut adalah andalan baginya karena ia sangat tidak ingin memakai nada tinggi kepada siapapun --kecuali orang tersebut sudah kelewat batas--.     

"Iya maaf istri saya yang tersayang, lagian juga kan Ard masih bisa menendang bolanya ke sisi bawah kanan dan kiri."     

"Tidak Mommy, Daddy berbohong. Sudah tau gawangnya kecil, dan tubuh Daddy terlalu bagus untuk berdiri di sana sampai menghalangi."     

"Ya terus mau bagaimana? nanti Daddy belikan deh yang paling besar sampai setinggi atap rumah kita, bagaimana?"     

"Daddy!" pekik Ard yang merasa kalau Leo tidak pernah serius, bahkan saat ia protes masih sempat-sempatnya bergurau. Sudah tau anak kecil sepertinya ini sangat menuntut, kalau tidak sesuai ya pasti akan bawel."     

Felia terkekeh kecil dengan gurauan yang dilontarkan Leo sekaligus wajah putranya yang benar-benar memerah padam merasa kesal dengan jawaban laki-laki yang sampai detik ini menjadi cintanya.     

"Leo... jangan begitu sama Ard, segeralah minta maaf perdamaian." ucapnya sambil menampilkan sebuah senyuman yang terlihat kelewat manis.     

Ard yang mendengar itu pun langsung mengubah wajahnya menjadi riang, "rasakan!" ucapnya sambil tertawa puas.     

Felia menaikkan sebelah alisnya, lalu berdehem kecil. "Untuk putra Mommy juga harus minta maaf sama Daddy, tidak ada pengecualian atau malam ini tidak ada dongeng tidur untuk mu." sambungnya yang melihat Ard yang malah senang kalau Leo meminta maaf, ya ia juga sekalian menyisipkan perilaku baik.     

Di sini, tidak peduli siapa yang salah dan siapa yang harus mengatakan 'maaf' untuk memperbaiki keadaan. Kalau memang ingin yang terbaik, seharusnya salah atau tidak pun harus meminta maaf juga.     

Leo menarik senyumannya, menatap Felia dengan sorot mata yang hangat. Tidak, jangan menaruh pemikiran kalau Ard adalah anak nakal yang sukar di beritahukan. Dia adalah salah satu anak yang paling nurut dengan segala ucapan baik, bahkan kini terlihat putranya yang sudah berjalan mendekat.     

"Daddy, Ard minta maaf." lirih Ard dengan bola mata yang di buat terlihat menjadi seperti puppy eyes yang sangat menggemaskan.     

Lihat, tadi perilakunya sangat keras kepala namun tiba-tiba menjadi selembut kapas.     

Dengan senang hati Leo menganggukkan kepala sambil tersenyum, "Lain kali tidak perlu banyak protes dan merajuk seperti tadi." ucapan sambil mengacak-acak puncak kepala Ard. Lalu dengan tenaga laki-lakinya, ia menaruh kedua tangan tepat di kedua lipatan ketiak sang putra lalu mengangkat tubuh mungil itu tinggi-tinggi seperti pesawat yang terbang di udara.     

Felia yang melihat itu hanya menggelengkan kepala, justru ia gemas dengan perilaku mereka yang bertolak belakang namun kalau sudah menyatu jadi terlihat sangat sempurna. "Hati-hati, Leo. Nanti Ard terjatuh," ucapnya mengingatkan.     

"Iya sayang,"     

"WIII YANG CEPAT DADDY, AKU RASANYA SEPERTI TERBANG MELAYANG KE UDARA!"     

Bahagia memang selalu sederhana, ini semua yang di bawa Felia ke dalam kehidupan Leo dengan sangat mudahnya. Bahkan ia hampir tidak pernah mendengar rengekan Ard yang meminta ini itu sampai berguling-guling menangis di lantai, bahkan selalu Leo-lah yang membelikan keperluan seorang anak laki-lakinya itu.     

Mungkin kesederhanaan Felia menurun ke Ard, sehingga putranya itu memang benar-benar tidak mempedulikan punya mainan banyak dan mahal atau tidak.     

Senyuman manis kian mengembang di permukaan wajah Ard, ia memiliki Daddy yang hebat dan memiliki Mommy yang luar biasa cantik pun tak kalah kehebatannya.     

"Hentikan Daddy, aku pusing."     

Setelah mengucapkan kalimat itu, Leo langsung menurunkan tubuh Ard. "Pusing tapi seru, setuju?" tanyanya sambil menjulurkan kepalan tangan kanannya.     

Ard menyambut kepalan tangan itu dengan tangan mungil miliknya juga, mereka seperti melakukan tos dengan cara yang gentleman. "Setuju! hidup Daddy, hidup Ard!" serunya meninju tangannya yang terkepal kuat ke udara.     

"Hidup!"     

Sang Daddy dan putra kecilnya itu tertawa, merasa lucu dengan perilaku mereka yang benar-benar seperti dua anak kecil. Yang satu benar kecil dengan umur muda, tapi yang satu sih lebih pantas di sebut bayi besar.     

Felia pun ikut terkekeh, lalu menaruh majalahnya pada meja kayu yang merupakan pasangan kursi kayunya juga. "Ya sudah yuk masuk ke dalam, kita main di dalam saja sepertinya angin terlalu berhembus kencang." ucapnya sambil beranjak dari duduk lalu meraih jemari mungil Ard.     

"Iya juga ya Mommy, padahal tadi mentari terasa hangat." ucap Ard ikut berkomentar. Di detik selanjutnya ia menghentakkan tangan sampai genggaman sang Mommy terlepas. "Mom, aku ingin minta di masakan sup ayam dulu ya oleh Chef Bara!"     

Sebelum mendapatkan persetujuan Felia, Ard dengan langkah mungilnya sudah berlari masuk kembali ke dalam rumah tanpa menolehkan kepalanya.     

"Lihat putra mu yang sangat aktif itu,"     

Suara bariton Leo akhirnya terdengar bersamaan dengan tangan kekarnya yang mulai melingkari pinggang Felia, membuat wanita itu dengan refleks langsung menyandarkan tubuh pada dadanya yang masih bidang seperti dulu saat pertama kali bertemu dengan dirinya.     

"Dia juga putra mu, Leo sayang."     

"Kalau begitu, lebih tepatnya putra kita."     

Leo mengecup puncak kepala Felia, membesarkan Ard bukanlah hal yang mudah namun tidak sulit juga. Ya seperti standard para orang tua kebanyakan, mereka selalu memberikan perhatian penuh dan seluruh cinta supaya putranya itu bisa tumbuh menjadi sosok yang tak hanya sempurna dari segi fisik namun sempurna juga dalam berperilaku terhadap orang lain.     

Felia mendongakkan kepalanya, langsung terlihat wajah tampan Leo yang sangat memabukkan. "Mau makan sup ayam juga?" tanyanya sambil mengelus rahang yang kini sudah ditumbuhi bulu-bulu halus itu, bukan terlihat buruk justru poin ketampanan laki-laki ini menambah hampir 10x lipat.     

Pesona Leo memang tidak bisa ditandingi kecuali para laki-laki yang masih sebanding dengan dirinya termasuk Damian, putra pertamanya si Vrans, dan terakhir putra keduanya Ard.     

"Sepertinya enak makan sup pagi-pagi, tapi lebih enak menyusu di kamar." jawabnya sambil mengedipkan sebelah mata, memberikan kode pada sang istri.     

Sedangkan Felia? ia hanya bisa terkekeh kecil dengan ucapan Leo, lalu mengembalikan tangannya seperti mula yang tadinya sibuk mengelus rahang tegas itu. "Kalau permintaan mu yang satu ini masih mustahil di turuti kalau pagi-pagi, jangan sampai melakukannya dihadapan Ard."     

"Memangnya kenapa? bilang saja kalau saya juga butuh asupan energi dari mu, lagipula Ard tidak akan mengerti apapun."     

"Tidak, aku tidak setuju dasar kamu mesum."     

"Mesum sama istri sendiri wajar lah sayang, kan itu termasuk jatah batin."     

Leo terkekeh kecil, ia tidak pernah malu karena sebagai laki-laki rasa nafsunya lebih besar daripada seorang wanita. Jadi, wajar saja ia meminta aneh-aneh selagi pada pasangan hidupnya.     

Felia ikut terkekeh, lalu mengendurkan pelukan Leo pada pinggangnya. Akhirnya, terlepas sudah lengan kekar itu dari tubuhnya. "Jadi pertanyaan, kamu ingin sup ayam atau tidak, sayang? aku tidak memberikan pilihan selain itu loh..."     

"Dan aku tidak memiliki jawaban, jadi ya aku pilih saja sesuai apa yang berada di otak."     

Leo kembali menarik tubuh Felia sampai menabrak tubuh bidangnya, lalu menatap dalam manik mata yang terlihat bersinar itu. "Terimakasih telah menjadi wanita terhebat dalam hidup saya sampai saat ini. Terimakasih sudah berkorban menghadirkan Ard, aku selalu sayang sama kamu, Fe." ucapnya dengan nada ketulusan yang terdengar benar-benar lembut dan menenangkan.     

...     

Next chapter     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.